Sunday, May 15, 2011

Kaum Horizontalis dalam Islam



Kaum horizontalis mencibir kaum vertikalis sebagai manusia lupa daratan, hanyut dalam gelombang lautan egoisme yang akut. Vertikalis miskin mendapatkan candu yang sama dengan vertikalis kaya karena sama-sama memalingkan wajah menghadap ke atas saja. Ini adalah pelarian alamiah dari orang yang mendapatkan segala kekayaan dengan mudah ataupun karena kalah dalam kompetisi kehidupan. Kaum vertikalis (kaya maupun miskin) dipandang sebagai orang-orang lupa daratan yang terus menerus mendapat nikmat Tuhan tapi terus menerus juga melakukan pengkhianatan terhadap-Nya.Ulamanya adalah penjilat penguasa sedangkan orang awamnya adalah para pecundang fatalis yang lari dari kenyataan.

Kaum horizontalis merasa tersadarkan untuk mengambil sebuah keimanan yang lebih fungsional dan berdaya manfaaat bagi sesama. Agama bukan sekedar pedoman kesalehan individual, melainkan protes terhadap kenyataan yang tidak adil yang dilakukan manusia. Kesalehan sosial lebih dipandang Tuhan daripada kesalehan individual sebab Tuhan maha kaya tidak butuh puja-puji makhluk-Nya. Tuhan tidak bisa dikibuli dengan ritual-ritual pemujaan.Tuhan tidak bepihak kepada tirani dan kedzaliman.Tuhan itu maha kasih sayang kepada seluruh manusia tanpa memandang ras, bangsa, dan tempat tinggalnya. Begitulah argumen kelompok horizontalis.

Horizontalis menyukai catatan-catatan orientalis semisal Garaudy yang berpendapat, “Pada dasarnya wahyu mempunyai pandangan tertentu terhadap manusia, alam, dan kebenaran. Oleh karena itu iman kepada wahyu mau tidak mau memasukkan kita kedalam kenyataan dan dorongan menuju perubahan dan bukan mencari penyesuaian dengan kenyataan.” Manusia wajib mengerjakan prinsip-prinsip kebenaran yang diyakini dan menerapkannya dalam hidup kesehariannya, bukan menjustifikasi kenyataan yang terjadi. Mengerjakan dalil, bukan mendalili pekerjaan.

Kaum Horizotalis sering mengidentikkan dirinya dengan pembela kaum lemah tertindas (Mustadh'afin). Karena penekanannya kepada pemerataan maka mereka tidak peduli pada di tipologi cultural Clifford Geertz, yakni priyayi, santri, dan abangan. Perlu modifikasi karena kategori “priyayi” tidak dapat diletakkan dalam ketegori santri dan abangan. Priyayi adalah kelas sosial yang lawannya adalah ‘wong cilik’ atau proletar. Sementara santri dan abangan adalah dikotomi yang mengacu pada ketaatan beragama dan ekspresi keagamaan. Oleh karena itu lebih tepat jika dikatakan ada priyayi yang santri dan ada pula priyayi yang abangan. Sebagaimana pula ada ‘wong cilik’ yang santri dan ada ‘wong cilik’ yang abangan.

Horizontalis tak memandang kawan dan lawan lewat kacamata ketaatan beragama dan ekspresi beragama. Oleh karena itu, bersatulah wahai seluruh ‘wong cilik’. Sadarilah bahwa kalian tertindas dan mari berjuang bersama Tuhan melawan para penindas (bayangin demonstran kurus dengan ikat kepala bertuliskan huruf Arab). Musuh bersama kaum horizontalis adalah si pemegang status quo, yakni priyayi santri (vertikalis) dan priyayi abangan.

Persetujuan Tuhan ada pada kasih kepada sesama makhluk di manapun termasuk di pasar,di kantor, di pabrik, baik di darat, laut, mupun udara (kok jadi seperti iklan obat mabuk perjalanan). Maksudnya, tangan Tuhan bersama tangan Si Penderma, bukan tangan Si Pendo’a yang menengadah di mesjid tapi mencatut hak orang lain di luar mesjid. Begitulah keyakinan kaum horizontalis.

Siapa yang memanfaatkan kaum horizontalis?
Yang pandai memanfaatkan kaum horizontalis adalah pertama, yang suka mengembar-gemborkan perbedaan kelas sosial dalam masyarakat. Ajaran Islam yang sering diangkat adalah yang berkaitan dengan perbedaan kelas antara kaum tertindas, mustadh'afin, melawan kaum muthrafun (orang kaya yang hidup bermewah-mewahan). Manusia kebanyakan memperbanyak kekayaaan dan malas untuk berbagi. Oleh karena itu horizontalis menghendaki pemerataan bahkan sama rata sama rasa. Oleh karena itu kaum horizontalis Islam banyak dimanfaatkan ideologi kiri (komunisme). Sebelum kemerdekaan RI, ideologi ini tidak ada kaitannya dengan ateisme sebab pengikutnya banyak dari kaum beragama Islam semacam Haji Misbach yang memberontak di Semarang dan seorang kiai dari Banten (saya lupa namanya) yang memberontak pemerintah Belanda tahun 1926. Islam Kiri, sebuah istilah yang tepat untuk kelompok horizontalis ini.

Kedua, yang memanfaatkan kaum horizontalis Islam adalah kaum radikalis dalam pengertian yang anti-pemerintah atau anti-Amerika dan sekutunya karena berbeda ideologi. Pada dasarnya Islam bukan sekedar 'agama' dalam pengertian yang mengatur ritual vertikal dan etika saja. Islam adalah ideologi dunia yang mengatur seluruh aspek manusia dan alam.Bukan sekedar 'agama tradisi' seperti Kristen, Hindu, Budha. Islam adalah sebuah sitem ideologi yang monolitik, artinya ideologi lain boleh hidup tapi harus menjadi sub-ordinat sistem ideologi Islam. Alasan ini lebih 'elite' dan mengakar karena sudah terlepas dari imanensi (keterkurungan) manusia dengan hasrat duniawi menuju transendensi. Kata Sydney Jones terorisme tumbuh bukan motif ekonomis apalagi kemiskinan melainkan alasan ideologis. Antitesis vertikalis adalah kutub horizontalis yang menghalalkan segala cara. Yang lagi rame misalnya kasus NII KW IX (yang boleh mengantikan shalat sebagai perwujudan vertikalis dengan rekruitmen) atau kelompok teroris yang menggoncangkan seluruh belahan dunia ini. Supaya berbeda dengan kelompok horizontalis sebelumnya maka kita sebut saja kelompok horizontalis ini dengan Islam Kanan.

Catatan: Baik Islam Kiri maupun Islam Kanan mempunyai kebenaran-kelebihan, juga kebatilan-kekurangan. Yang terakhir adalah ideoligi pertengahan, ummatan wasaton, bukan kutub-kutub ekstrem yang dimanfaatkan oleh sistem atau ideologi lain. Nah, tunggu ulasan tentang kaum diagonalis yang saya anggap paling ideal.

Catatan tambahan (lagi). Ilustrasi satiris terhadap vertikalis miskin yang menarik ada pada cepen “Robohnya Surau Kami” karya AA Navis. Sedangkan kritikan kepada kaum Vertikalis borjuis ada pada novel “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer. Baca sendiri yach...!

Friday, May 6, 2011

Kaum Vertikalis dalam Islam




Kaum Vertikalis memandang Tuhan itu sebuah “apa”, sebuah “ada”, bahkan “Ada” tertinggi. Artinya tuhan itu sudah jelas ada sejak dahulu kala, lepas dari peredaran ruang dan waktu. Tuhan itu di atas dan juga di luar manusia. Menurut Van Peursen, sikap seperti ini disebut sikap ontologis, artinya manusia mengambil jarak terhadap sesuatu yang mengitarinya. Ia bertindak sebagai penonton dan pengamat terhadap yang ada di sekitarnya, terhadap hidupnya sendiri, dan terhadap Tuhan.

Karena keberadaan “Ada” itu sempurna dan “maha”, maka mereka berusaha menyandarkan segala sesuatu kepada “Ada” tersebut. Mereka juga beranggapan bahwa “Ada” atau sebutlah Tuhan, senang dipuja-puji dan dikasih sesajen dengan dzikir dan wirid baik bersama maupun sendirian. Meskipun demikian, ada jarak nantara manusia dan Tuhan. Oleh karena itu, untuk mendekati-Nya diperlukan kesucian karena Tuhan hanya menyukai yang suci. Hubungan dengan Tuhan pun harus diatur melalui tatacara religi yang ditetapkan. Maka bagi kaum vertikalis, pelatihan shalat khusuk dan manasik haji lebih diminati ketimbang mengikuti pelatihan pemberdayaan UKM misalnya. Mesjid-mesjid mereka dipadati dengan kajian-kajian fikih dan ritual-ritual.

Urusan yang menjadi perhatian kaum vertikalis adalah kebersihan jiwa. Hindari piktor (pikiran kotor). Mereka juga senang dengan candu (istilah Karl Max) yakni surga dan para bidadarinya dan menjauhi neraka beserta setan-setan penghuninya. Yang miskin dari kelompok ini akan terpuruk di sudut-sudut masjid sebagai penjaga setia rumah Tuhan (di Jawa Barat disebut marbot masjid). Sedangkan yang berduitnya bolak balik umroh mendekati rumah Tuhan. Mereka memandang orang-orang yang kurang beruntung (baca miskin) sebagai hasil dari tindakannya sendiri yang melanggar aturan Tuhan dan melaksanakan larangan-Nya. Pengertian mereka tentang arti ibadah disempitkan hanya sebatas vertikal, hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini berseberangan dengan kaum Horizontal yang akan saya bahas selanjutnya.

Siapa yang memanfaatkan kaum Vertikalis?
Untuk menjawab ini kita perlu lihat sebuah istilah Karl Marx tentang Alienisasi. Alienisasi atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan menjadi proses menuju keterasingan, adalah teori yang dikeluarkan oleh Karl Marx tentang munculnya sebuah keadaan dimana buruh atau proletar mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari kehidupanya. Ia percaya bahwa Alienisasi adalah hasil dari eksploitasi kapitalisme terhadap buruh dengan mengartikanya sebagai modal. Jangan hanya bayangkan buruh yang bergaji UMR dan rajin berdemo saat Mayday itu. Buruh di sini termasuk yang berdasi dan bergaji tinggi yang bekerja di perusahaan tambang atau minyak asing dengan gaji relatif tinggi. Pada dasarnya mereka juga teralienisasi, terasing dari lingkungan awal yang membesarkan mereka. Di perkotaan , kaum vertikalis diwakili oleh kaum menengah atas, yang mapan dari segi ekonomi, sosial, dan finansial dan kebetulan beragama Islam. Bisa saja mereka itu dosen, pengusaha, atau karyawan yang sukses. Mereka menjadi terasing dibuktikan dengan ketidak-pedulian mereka terhadap lingkungan sekitarnya.

Bila mereka menjadi wakil rakyat pun mereka tidak memikirkan rakyat. Bila mereka menjadi pendidik, mereka tidak mendidik cuma mengajar. Bila mereka menjadi pengusaha mereka menghalalkan segala cara. Tapi dalam urusan ibadah rukun Islam yang lima mereka rajin dan utama. Seolah tidak ada kaintannya antara shalat dan di luar sahalat. Rumah vertikalis kaya temboknya tinggi-tinggi menujukkan anti sosial mereka. Wujud keterasingan mereka adalah pelampiasan kepada will to pleasure (pencapaian kesenangan) di tempat-tempat wisata dari mulai Makao sampai Mekah. Hal tersebut akan memunculkan keadaan yang disebut Karl Marx sebagai obyektivikasi (Vergebrtandlichung) atau bisa dibilang sasaran empuk untuk menambah modal kapitalis. Sistem Islam maupun sub-sistemnya tidak kebagian apa-apa! Kacian dech....

Maaf, bila ada yang tersinggung. Jangan terlalu serius membaca tulisan ini. Cuma memanfaatkan waktu kosong aja di kantor selagi masa reses (bukan reseh) . Abisnya, bos lagi pada pergi ke luar negeri gak ngajak-ngajak gue sih...Sabar ya, artikel lainnya yaitu HORIZONTALIS masih digodok (jamu kaleee).


Thursday, May 5, 2011

Paradoxial Intention, Terapi Susah Payah

Jauh sebelum Victor E. Frankl merumuskan istilah Paradoxial Intention dalam ilmu logoterapi, Al Qur'an sudah merumuskan terapi 'kabad' (susah payah). Mari kita urai istilah-istilahnya terlebih dahulu. Paradoxial Intention atau niat yang berkebalikan adalah metoda terapi bagi penyakit perasaan dan mental dengan cara mengubah niat. Sebenarnya terapi ini adalah upaya untuk membalikkan niat menjadi sikap. Dengan berubahnya sikap, diharapkan terjadai perubahan kualitas kesehatan dan kebahagian si penderita. Misalnya, orang insomnia, memunculkan rasa takut tidak dapat tidur yang pada saat itu juga memicu keinginan berlebihan untuk tidur. Anehnya, karena ketakutan tidak bisa tidur ini ini malah membuat orang itu semakin tidak bisa tidur. Nah, metoda Paradoxial Intention justru menganjurkan agar Anda melakukan niat yang sebaliknya artinya berusaha sedapat mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata lain, keinginan sangat besar untuk tidur, yang muncul akibat rasa cemas, harus diganti dengan keinginan untuk tidak tidur. Akibatnya, ia akan segera… tidur.”
Kabad adalah suatu penyakit mental manusia yang diterjemhakan dalam tafsir Depag sebagai 'susah payah', “Sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia berada dalam susah payah” (QS. Al-Balad: 4). Padanan kata ini adalah wahnan seperti dalam surat 46:15 ''...ibunya mengandungnya dengan susah payah, melahirkannya dengan susah payah (pula). 'Kabad' ditafsirkan lebih panjang sebagai tidak melakukan upaya yang seharusnya (padahal tahu apa yang seharusnya dilakukan). Kabad berarti juga berada dalam ketegangan-ketegangan yang tidak produktif. Tahu harus menembak buruan tetapi cuma bisa mengendap dan mengintip saja. Kabad berarti juga tidak menikmati hari ini karena pikiran disibukkan dengan planing-planing masa depan yang tidak bisa atau belum dikerjakan (ini gue banget dech !). 
 
Menurut Al Qur'an dalam Al Balad: 11 terapi kabad yang paling ampuh adalah “... tempuhlah jalan mendaki lagi sukar”. Untuk menyakinkan pembaca, Allah mengulang dalam ayat selanjutnya dengan memberi tekanan kepada 'jalan mendaki', simak ayat12: “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” Lalu Allah menjawabnya secara berturut-turut dengan ayat 13: “...(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan”. Ayat 14: “..atau memberi makan pada hari kelaparan”. Ayat 15: (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. Dan ayat 16: atau orang miskin yang sangat fakir. 
 
Terapi Al Qur'an ini mirip dengan teori Paradoxial Intention, niat berkebalikan di atas. Kalau malas, niatkan untuk melawan malas. Kalau susah payah dan loyo mari naik bukit. Tidak punya uang, mari bersodaqah. Semua orang kelaparan, mari memberi makan. Anak yatim (yang biasanya kebanyakan nyebelin), mari kita pelihara anak yatim. Saat kita takut melakukan sesuatu, lakukanlah itu. Saat takut berbicara dengan seseorang, berbicaralah dengan orang itu. Orang yang gugup atau berkeringat berlebihan pun bisa menerapkan paradoxical intention. Caranya dengan menunjukkan secara sengaja kepada orang-orang betapa banyak keringat yang bisa ia keluarkan. Ini sebagai ganti rasa takut tubuhnya berkeringat yang malah memicu keringat keluar deras.

Sekali lagi Allah menegaskan bahwa manusia dari sono-nya diciptakan berkeluh kesah dan bersusah payah. Namun jangan menyerah. Biar semangat, lihat buah dari terapi ini. Out-put dari proses terapi ini bisa terlihat pada kepribadian yang sehat atau dalam istilah Frankl "pribadi yang mengatasi diri". Orang yang bersusah payah-kabad- tapi tidak mau berubah sebenarnya berada dalam posisi “pribadi yang ditindas diri” kebalikan dari “pribadi yang mengatasi diri” (ini istilah saya aja). Kalau sudah begini, Anda menjadi Tuan bagi diri anda sendiri. Hawa nafsu bakal lemes, tidak mati sih, tapi keok susah bangkit lagi.
Tujuan hidup bukanlah hanya untuk mencapai kondisi keseimbangan (equilibrium). Tujuan hidup bukan will to power (kekuasaan) atau will to pleasure (pencapaian kesenangan) atau kehidupan yang serba mapan (istri cantik, anak sehat, rumah mentereng, mobil kinclong, pensiun terjamin, mati gak bakal gentayangan). Kata motivator, kekuasaan dan kesenangan bukan tujuan itu hanya alat sekaligus side effect, dari keberhasilan kita memikul tanggung jawab. Sebab, banyak artis atau milyarder yang mencapai ini tapi hidupnya unhappy. Hidup itu memang ada kabad, susah payah dan ada senangnya juga. Tujuan hidup itu bukan menghindari susah payah dan tegang. Hidup bukan menunggu semunya serba siap dan serba mudah. Kita tidak menunggu kekuatan, kemampuan, atau peluang lebih besar. Kita harus mulai dari yang kita punyai. Jika kita menanti sampai setiap kemungkinan hambatan telah menyingkir, kita tidak akan pernah melakukan apapun. Hidup yang sehat bukan yang adem ayem, melainkan senantiasa berada dalam semacam tegangan yang produktif antara apa yang kita hayati sekarang, dengan harapan kehidupan yang lebih baik di masa depan (kampung akhirat) sambil memikul tanggung jawab (amanah) di dunia. Menurut saya, ini baru definisi yang benar tentang makna dan tujuan hidup.
Di balik semua pahlawan besar, selalu ada tragedi pergolakan yang pernah terjadi. Kalau semua jalan rata dan mulus tidak akan pernah ada syuhada. Di balik semua kesuksesan di mata manusia maupun dimata Sang Pencipta, selalu ada niat, sikap, usaha dan kerja keras. Kalau Allah berseru “Wahai nafsul muthmainnah, kembalilah kepada keridhaan Tuhanmu, jadilah kelompok hambaku, dan masuklah ke dalam surgaku”, itu ditujukan Allah kepada pribadi-pribadi yang berhasil 'mengatasi diri' melawan susah payah (kabad) sepanjang hidupnya.

Tuesday, May 3, 2011

Mekanisme Pelatuk

Kata “mekanisme pelatuk” merupakan sebuah istilah yang dipinjam dari dunia militer dan persenjataan: dalam sebuah pistol ada sebuah pelatuk. Demikian juga tombol pada sebuah tustel foto. Bila kita ingin menembak, maka pelatuk ditarik: awalnya belum terjadi apa-apa, tetapi bila sudah lewat titik tertentu, maka pelatuk itu menyotok dan terjadi tembakan. Akibat-akibat dari penembakan itu sering belum dapat diramalkan sebelumnya. Nah, semua ini merupakan sebuah proses mekanis dan material belaka.

Contoh lain mengenai mekanisme pelatuk, kali ini dalam arti kiasan: Seorang Grand Master catur menggeserkan sebuah bidak dan dengan demikian raja dan perdana mentri pihak lawan sekak-seter. Sebuah gerakan bidak yang kecil, kekuatannya tiba-tiba memperolah efek hebat. Nah, dalam struktur-struktur sosial pun terdapat sesuatu yang mirip dengan mekanisme pelatuk itu. Bila kita memahami struktur-struktur itu, maka kita dapat melihat juga dimanakah jalan-jalan buntu, sehingga jalan terbuka bagi suatu permasalahan yang baru. Dalam hal etika sebagai contoh, dalam sebuah pesawat terbang yang sedang gawat, terjadi kepanikan, maka sikap tenang satu orang saja dapat menyelamatkan penumpang. Sekelompok keluarga mulai mendiami rumah-rumah di daerah Pecinan misalnya, maka perbuatan tersebut banyak manfaatnya bagi integrasi suatu bangsa. Sebuah perusahaan keluarga etnis tertentu menempatkan seorang general managernya atau seorang direkturnya dari ras lain, maka penempatan posisi tersebut banyak manfaatnya bagi cairnya komunikasi dan keterbukaan di banyak perusahan lain dengan kasus sejenis.

Bila seseorang secara demonstratif membakar diri (ingat Jan Pallach di Cekoslowakia, atau seorang biksu di Vietnam Selatan), maka peristiwa tersebut dapat mengubah situasi politik. 


Pidato Martin Luther King : “I Had a Dream” , yang kemudian menjadi terkenal itu, menarik sebuah pelatuk dalam situasi politik yang sudah menjadi beku, hingga ledakannya berdampak sampai kini yakni naiknya Obama, seorang ras negro–amerika menjadi orang nomor satu di negeri yang dulunya menganggap hal itu tidak mungkin terjadi. Juga di Asia, Benigno Aquino tertembak  menjadi pemicu 'people power' di Filipina dan mengubah sistem negara itu menjadi lebih demokratis.

Seorang Briptu Norman menari dan berlipsing di Youtube, atau seorang polwan yang berjalan-jalan di catwalk dapat mengubah citra polisi yang dianggap menyebalkan menjadi lebih humanis. Dalam semua kasus ini perbuatan satu orang yang bukan ‘siapa-siapa’ berdampak jauh melampaui lingkupnya dan tidak disangka-sangka.


Namun ingat, menggeser satu bidak hanya ada efek, bila pemain sungguh tahu peraturan-peraturan main catur. Hanya seorang yang sungguh tahu akan struktur-struktur sosial dapat mengaitkan perbuatannya dengan keadaan sekitarnya. Setelah Jan Pallach mengorbankan diri masih ada beberapa pemuda lain yang membakar diri, tapi perbuatannya tak ada efek. Bukan perbuatan ‘nyeleneh’nya yang penting, melainkan perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan struktur-struktur yang ingin dirombak. Rentetan bom bunuh diri (seperti yang terakhir di Cirebon) atau aksi mogok makannya Anand Krisna akan berhenti pada keheranan bagi orang-orang yang mendengarnya saja. Bisa saja fenomenanya seperti orang-orang yang ikut -ikutan MLM (Meletus Lalu Melempem). Tidak mampu membuat ‘ledakan’ yang lebih besar yang merombak tatanan sistem hukum misalnya. 

 Bila tidak mengerti akan struktur dan mekanisme permainannya dengan tepat, seorang yang secara individu, seorang diri, ingin merombak keadaan, yang terjadi adalah orang gila yang pantas masuk rumah sakit jiwa. Karena perbuatannya dipandang dari sudut moral, tidak relevan tidak merupakan suatu perbuatan yang sungguh etis yang akan merombak sebuah struktur yang sudah berkarat. Suatu perbuatan baru dapat disebut “relevan” bila muncul dari rasa tanggung jawab moril serta pengetahuan tepat mengenai struktur-struktur yang ada. Bila suatu situasi dianggap jalan buntu, maka satu perbuatan dapat menjadikan situasi itu laksana penyalur petir, sehingga perhatian dan proses seluruh dunia dibangkitan. Nah, Anda ingin merombak keadaan? Pelajari mekanisme pelatuk dan struktur-struktunnya dengan cermat. Bila tidak matang, siap-siap menjadi orang sia-sia dan dianggap gila!.


(Tulisan ini  gua posting mengingat permintaan mendesak *wajah memelas* dari para penggemar paragrafunik.blogspot.com. Disarikan dari buku "Strategi Kebudayaan" karya Prof. Dr. C.A. van Peursen. Semoga arwah beliau tenang di alam baqa)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...