Wednesday, March 30, 2011

Menyiasati Kehidupan yang Biasa-biasa Saja


blog-apa-aja.blogspot.com
Dulu, saya pembaca setia rubrik konsultasi psikologi harian Kompas edisi minggu. Artikel yanng menarik adalah membaca kolom pertanyaan dan jarang baca kolom jawaban dari pengasuh rubrik itu (Bu Laila Ch Budiman). Begitu senangnya membaca keluhan-keluhan si penanya, sampai saya sering lupa membaca tanggapan si pengasuh rubrik. Saya senang karena ada yang hidupnya lebih susah dan bermasalah daripada saya.  Masalah saya tidak seberat meraka, dan itulah alasan terbaik untuk bersyukur.

Kalau lagi semangat, saya pun membaca jawaban dari pengasuh rubrik (tapi ini jarang sekali).  Seringnya, sebelum membaca jawabannya saya bertanya kepada diri sendiri apa jawaban saya? Jawaban saya seringnya meleset dari jawaban pengasuh hee.. hee. Di situlah tantangannya: agar saya membaca tuntas.

Pernah ada seorang Bapak yang curhat karena dia merasa menjadi orang 'biasa-biasa' saja. Prestasi di semasa sekolah menengah cuma masuk 10 besar tapi tidak pernah 3 besar. Masuk perguruan tinggi negeri meskipun pilihan kedua. Lumayanlah dari pada masuk PTS yang saat itu bayarnya mahal. Lulus denganIPK alhamdulillah,  dan singkat cerita diterima di sebuah perusahaan dan mulai berkarier di situ. Tugas-tugas kantor dikerjakan dengan baik, tapi tidak 'secemerlang' rekan-rekannya. Kalau rapat idenya biasa-biasa saja dan kalau berargumen sering kehilangan kata-kata (kalah arhumen maksudnya). Punya rumah (meskipun masih nyicil) dan sebuah kendaraan agak tua tapi masih layak dikendarai kemana-mana. Isterinya teman kuliahyang sederhana dan punya anak dua yang lucu-lucu dan sehat.

Untuk mendongkrak pamornya di perusahaan dia kuliah S2 di SAbtu-Minggu. Namun tetap saja, kalau meeting atau rapat direksi dia tidak diikutkan. Atasannya memandang dia sebagai karyawan standar. Sekedar ada dan dibutuhkan. Oleh karena itu jabatannya pun mentok sampai level manager. Dia sudah kursus dan seminar ke sana kemari agar meningkatkan pengetahuan dan skill negosiasi dan komunikasi, tapi hasilnya tidak memuaskannya. Si penanya yang S2 ini mengeluhkandirinya  kepada sang psikolog. Nah, apa kira-kira jawaban dan tanggapan  Anda? Saya juga tidak tahu bagaimana menanggapinya, mari kita berbagi kabingung.

Sedikit catatan saja, bila kita merasa tertinggal dan belum mencapai yang telah dicapai oleh rekan-rekan kita, cobalah untuk menyeimbangkan perasaan itu dengan hal-hal baik yang telah kita miliki. Coba berfokus pada yang sudah kita miliki, bukan berfokus kepada keinginan yang belum tercapai. Bersyukurlah atas keluarga yang damai (karena banyak yang disharmonis), kepada tempat tinggal dan kendaraan yang ada (orang lain belum punya rumah dan naik angkot terus). Bila anda teliti memeriksa semua yang anda miliki, ternyata banyak sekali hal baik yang bisa membuat kita disebut beruntung.

Kemudian Sadarilah bahwa perjalanan berikutnya adalah perjalanan untuk lebih MELENGKAPI bukan sebuah PENGEJARAN. (wise guy ... he... he... ).

3 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...